Oleh: Dr.dr. Abd. Halim, SpPD.FINASIM.SH.M.H.MM
SANKSI pidana berkaitan dengan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum pidana (kepentingan/ketertiban umum) dan Hukum pidana sebagai bidang spesifik dalam sistem hukum Indonesia yang berfungsi memberikan perlindungan hak dan kepentingan individu, termasuk hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana.
Tindakan malpraktIk berakibat kepada kesalahan medis yang menyebabkan pasien cacat ataupun meninggal dunia, menjadi pertanggungjawaban hukum dokter secara pidana(vide Pasal 359 KUHP Jo. Passal 361 Jo. Pasal 55 KUHP).
Memahami bahwa proses beracara di pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya mahal dan memakan waktu, dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum serta dianggap terlalu formalistik dan normatif. Maka perlu peninjauan kembali perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efesien.
Mediasi penal merupakan salah satu sarana dalam penyelesaian perkara alternatif di dalam perkara pidana. Malpraktik medis dikatakan sebagai salah satu tindak pidana di bidang kedokteran. Pengaturan penyelesaian perkara malpraktik medis di dalam perkara pidana belum diatur dalam KUHP sekarang.
Kelemahan dan ketidakpuasan terhadap sistem peradilan pidana mendorong untuk dicari alternatif penyelesaian perkara di luar jalur penal yaitu dengan cara mediasi penal sebagai wujud restorative justice dengan melalui jalur alternative dispute resolution (ADR).
Pada saat ini mediasi penal dalam perkara pidana malpraktik kedokteran belum diatur baik dalam KUHP, Undang Undang Kesehatan, Undang Undang Praktik Kedokteran, oleh karena itu kedepan (ius contituendum) hendaknya perlu pemikiran secara lebih mendalam.
Dalam RUU KUHP Pasal 53 disebutkan (1) Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. (2) Jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan. Dan Dalam Pasal 54 (1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a. bentuk kesalahan pelaku Tindak Pidana; b. motif dan tujuan melakukan Tindak Pidana; c. sikap batin pelaku Tindak Pidana; d. Tindak Pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan; e. cara melakukan Tindak Pidana; f. sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Tindak Pidana; g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku Tindak Pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Tindak Pidana; i. pengaruh Tindak Pidana terhadap Korban atau keluarga Korban; j. pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya (2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Pasal 53 dan 54 dalam RUU KUHP ini adalah masuknya filsafat hukum progresif dalam mencari keadilan yang substantif dan keadilan restoratif bagi hakim untuk memutuskan perkara hukum pidana. Dan dalam UU nomer 39 tahun 2009 pada Pasal 29 menyebutkan bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
Dalam perkara pidana disebut Mediasi Penal. Dan saat ini ada Peraturan Kejaksaan No.15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, tercatat dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun 2021 Nomor 947. Pasal 132 huruf g RUU KUHP menyatakan bahwa gugurnya perkara pidana kalau telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.(mediaindonesia.com/Fsl)